Kamis, 22 Mei 2008

Sabar Menerima Ujian, Menangani Musibah Gempa di Mentawai September 2007.

SABAR MENERIMA UJIAN DARI ALLAH SWT

Oleh:H.Mas'oed Abidin.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah memberikan tuntunan di dalam Al Quranul Karim, yang artinya : "Dan sesungguhnya Kami akan mengujimu dengan sesuatu cobaan, seperti ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah buahan. Namun gembirakanlah orang orang yang shabar. Yaitu orang orang yang bila di timpa malapetaka (musibah) diucapkannya "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un". Merekalah orang orang yang mendapat berkat dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka pulalah orang orang yang mendapat petunjuk" (QS.2,Al Baqarah,ayat 155 157).

Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah menetapkan satu ketentuan yang amat pasti di dalam kehidupan manusia yakni keyakinan akan adanya musibah di samping nikmat, siang sesudah malam, juga rugi di samping laba, sakit dan senang, bahkan hidup dan mati, adalah satu sunnatullah yang pasti dilalui secara bergantian, oleh setiap makhlu hidup.




Rasulullah SAW senantiasa mengingatkan supaya manusia selalu menjaga kesehatan sebelum sakit datang, supaya senantiasa berhati hati sewaktu kaya karena miskin bias datang mendera, supaya selalu pula berhati hati di kala hidup masih ditempuh sebelum mati datang menjelang, dan juga agar selalu berhati hati di masa muda sebelum tua datang menghadang.

Begitulah bimbingan Agama Islam, yang pada hakekatnya menanamkan satu sikap hidup yang positif, yaitu "kehati hatian", atau dalam istilah di Minangkabau ingek-ingek sabalun kanai, kulimek sabalun abih, ingek-ingek nan ka pai, agak-agak din an ka tingga.

Maka, setiap insan Muslim diajarkan hidup di dalam sikap optimistis yang tinggi, selalu menjaga diri, senantiasa berbuat baik selalu, karena sesudah hari ini, aka nada hari esok.
Inilah ajaran agama yang haq.



Musibah adalah ujian.
Di dalam pandangan agama Islam, hidup ini selalu mempunyai padanannya, kembar dan selalu bergandengan.
Di dalam musibah terkandung makna yang dalam artinya.
Di antaranya mengingatkan manusia, bahwa dirinya berada di dalam genggaman Allah Yang Maha Kuasa, sebagai inti dari ajaran tauhid.

Musibah, tidak selamanya bernilai azab.
Adakalanya hanya sebatas ujian belaka.
Di balik ujian, tersedia yang lebih baik dari sebelumnya.
Matematika seperti ini kadang kala tidak terangkat oleh bingkai rasionil semata.


Namun berada di dalam 'wilayah' keyakinan, sebagaimana diingatkan oleh wahyu Allah SWT, 'Asaa an takrahu syai an wa huwa khairun lakum, wa 'asaa an tuhibbu syai an wa huwa syarrun lakum. Wallahu ya'lamu wa antum laa ta'lamun.
Artinya, boleh jadi, engkau membenci sesuatu, padahal itu amat baik bagimu (di balik sesuatu yang engkau bendi itu), dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu (mungkin di balik yang disenangi, terdapat sesuatu yang sangat dibenci).
Dan Allah semata yang Maha Tahu, sedang engkau tidak mengetahui (mengenai rahasia di balik semua peristiwa).
Begitulah bimbingan wahyu Al Quran pada Surah Al Baqarah.
(QS. 2 : 216).


Barang-barang sumbangan dan tenda dari Lembaga Amil Zakat (LAZ) PT. Semen Padang yang di kirim ke Mentawai sebagai bantuan untuk meringankan penderitaan umat muslim di Mentawai yang mendapat cobaan gempa bumi bulan September 2007 yang lalu.



Bantuan itu dibawa oleh Saudara Zulkifli TS, Koordinator Da'i di Sipora Mentawai.


Musibah atau cobaan dalam kehidupan, sebenarnya mengandung ajakan untuk melakukan suatu koreksian (introspeksi).
Bila pada masa sebelumnya terlakukan suatu kelalaian, maka sesudah itu harus tumbuh sikap kesungguhan untuk memperbaiki situasi kearah yang lebih baik. Dan bila pada masa masa sebelumnya yang tersua senyatanya hanya kebaikan, maka ada kewajiban meningkatkan kebaikan itu menjadi lebih sempurna.
Sehingga dengan setiap kali datangnya musibah (ujian) manusia senantiasa meningkat taraf kedudukannya kepada suatu tingkat yang lebih tinggi.
Cobaan-cobaan tidak semestinya menjadikan manusia berputus asa.
Cobaan tidak semestinya menjadikan manusia hilang kepercayaan diri.
Kepercayaan diri akan lenyap di kala manusia melupakan Tuhan dan membelakangi ajaran agamanya.

Sayangi umat binaan
Keberhasilan dakwah banyak ditentukan oleh indahnya hubungan sesama di dalam pergaulan sehari hari.
Du'aat (juru dakwah) di lapangan medan dakwah tidak boleh menyendiri, apalagi tidak mau menyayangi masyarakat yang didakwahinya.
Satu keberhasilan du'aat ditentukan oleh kesediaannya menerima dan menghormati jamaah dikelilingnya dalam rangkaian dakwah ila Allah.
Du'at (juru dakwah) adalah pengayom, dan panutan.
Tempat bertanya, dan tempat mengadukan masaalah pelik yang tak mungkin dapat diselesaikan oleh jamaahnya secara sendiri sendiri.
Sikapnya dalam memuliakan jamaahnya, selalu akan dijadikan ukuran akhlak para du'aat.


Seorang juru dakwah semestinya merasa senang menerima seseorang yang memasuki arena dakwahnya.
Dia tidak boleh menolak sesiapa yang mengharapkan bantuannya.
Dia harus selalu tanggap dengan kesulitan orang lain.
Seorang du'aat semestinya memiliki dorongan kuat untuk berbuat lebih banyak untuk orang lain (jamaah bi¬naannya), dalam batas batas hubungan yang harmonis dan saling menghormati.

Sesuai dengan batas kemampuan yang dimilikinya, sekecil apapun, akan bermakna dalam menumbuhkan semangat dan percaya diri bagi umat yang dibinanya.
Jika tidak mampu memberikan materi, maka senyum dengan penuh perhatian merupakan satu pemberian yang bernilai besar, begitulah gambaran jelas akhlaq al Qurani.



Dermawan.
Al Quranul Karim menceritakan suatu perangai mulia perlu dipunyai juru dakwah untuk menempati posisi pelanjut tugas tugas risalah dinul haq, sebagai dicontohkan oleh Ibrahim AS yang didatangi tujuh pemuda untuk menguji kedermawanannya.
Tujuh pemuda ini sama sekali belum di kenal oleh Ibrahim AS.
Sungguhpun begitu, ia menerimanya dengan senanghati tanpa kecurigaan, yang diperlihat¬kan pada sikap yang tulus dalam memuliakan tamunya. Ibrahim AS. memiliki kebiasaan setiap tamunya yang datang tidak akan dilepas sebelum mereka disuguhi hidangan menurut kemampuannya, sebagai penghormatan dari "tuan rumah".

Pemuda pemuda yang senyatanya bukan tamu sembarangan ini menolak jamuan tuan rumahnya dengan halus, karena sesungguhnya mereka bukanlah manusia biasa yang memerlukan makan dan minum.
Mereka adalah tujuh malaikat terhor¬mat yang sengaja diutus Allah menguji kedermawanan Ibrahim seba¬gai juru dakwah dijalan Allah.
Rangkaian kisah indah ini diu¬langkan berbentuk wahyu kepada Nabi Muhamad SAW dalam Al Quranul Majid, sehingga menjadi salah satu bentuk dari "Akhlaq al Qur'a¬ni".


Dahulukan kepentingan umat
Berbuat baik sesama kerabat, merupakan perangai yang teramat mulia.
Kehormatan seorang du'aat akan diuji dalam sikap ini.
Perhatian terhadap kaum kerabat (umat banyak), amat tinggi ni¬lainya.
Mementingkan urusan pribadi bukan sikap terpuji seorang du'at.




Bila manusia banyak telah terpuruk mengurus diri sendiri dan tidak peduli dengan keperluan orang lain (lingkungannya), tunggulah bencana akan datang timpa bertimpa. Medan dakwah akan jadi sempit.
Melupakan kepentingan orang banyak sangat dicela dan dinilai aniaya (dhalim) dalam ajaran Islam.
"Dzurriyat" atau generasi yang akan menyandang darjah pimpinan dan panutan tidak pernah seseorang yang bersikap dhalim (aniaya).


Ibadah sesungguhnya berperan menghapuskan kezaliman dalam diri seseorang.
Ibadah akan menumbuhkan sikap senang melaksanakan perintah Allah dan membuahkan perangai "menyayangi orang lain sebagai mengasihi diri sendiri".
Nabi Muhammad SAW mengingatkan tugas risalahnaya supaya berperilaku panutan dengan akhlaq Al Qur'ani.
"innama bu'ist tu li utammi makarimul akhlaaq" artinya, "aku diutus menyempurnakan akhlak yang mulia".

Allah mencontohkan dalam Firman Nya;
"Sungguh Ibrahim adalah seorang Imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif (maksudnya: seorang yang selalu berpegang kepada kebe¬naran dan tak pernah meninggalkannya). Dan sekali kali bukanlah dia termasuk orang orang yang mempersekutukan (Tuhan).(Dia terma¬suk) yang mensyukuri nikmat nikmat Allah. Allah telah memilih dan menunjukinya kepada jalan yang lurus"(QS.16,An Nahl,ayat 120 121).

Di antara perangai mulia (millah) Nabi Ibrahim AS, yaitu patuh, jujur, pandai berterima kasih, berkasih sayang sesama keluarga dan masyarakat , pandai memilih tindakan yang tidak merugikan orang lain, dan senantiasa memimipin ummat ke jalan yang benar.
Memupuk sikap mulia ini hanya dengan selalu "berpegang teguh kepada Hidayah Agama Allah", dalam menerapkan akhlaq al Qur'ani.

Mudah mudahan kita semua senantiasa berada dalam lindungan Rahmat dan Inayah Nya. Amin.


Jauhi SIKAP TERCELA

Rasulullah SAW selalu menganjurkan kepada setiap penganut Islam untuk menjauhi delapan sikap tercela yang manakala ada bisa menyebabkan tampilnya bencana, baik dalam hubungan seorang ataupun masyarakat dan negara.

Delapan sikap yang mesti di jauhi itu adalah ;
1.Selalu merasa sedih dan kecewa, yang senantiasa menyisakan sikap putus asa dan akibatnya menyerahkan segala sesuatu tanpa berusaha.

2. Perasaan gelisah, seakan selalu dikejar bayang-bayang.

3. Lemah, baik fisik (jasad), perasaan (kalbu) ataupun akal fikiran, yang berujung dengan menjadikan diri siap untuk di tindas orang lain,

4. Malas, sehingga tertutupnya pintu keberhasilan.

5. Sikap pengecut, yang menghambat diri untuk berusaha secara sungguh-sungguh.

6. Bakhil, yang akibatnya bisa tidak menghiraukan keadaan keliling, hapusnya solidaritas, hilangnya kepedulian. Sikap bakhil bisa pula berdampak kepada pengejaran kesenangan (harta) duniawiyah tanpa menghiraukan kepentingan orang lain (individualistis),

7. Selalu dalam cengkeraman hutang, yang berakibat kurangnya ukuran kepantasan dan kepatutan, atau tak seukuran bayang-bayang dengan badan.

8. Berada dalam penindasan orang lain, sebagai konsekwensi logis dari ketujuh sikap tercela sebelumnya.

Bila kita meneliti dan memahami langkah yang telah kita tempuh selama ini, setidaknya dalam waktu tigapuluh dua tahun masa yang telah berlalu, maka sesungguhnya kedelapan sikap tercela ini telah menghimpit bangsa ini melalui penerapan cara-cara amat sistimatik seakan dipaksanakan harus berlaku sejak dari kekuasaan atas hingga lapis terbawah.



Bangsa yang besar ini menjadi sangat kecil tatkala penipuan dalam slogan demi pembangunan dibenarkan penipuan sebagai suatu keharusan, dan penindasan hak-hak masyarakat dianggap sebagai suatu kewajaran.

Nilai-nilai kepatuhan ditampilkan dalam bentuk memutar-balikan perintah menjadi pembenaran tindakan dalam disiplin birokrasi.
Kepatuhan kepada atasan bahkan menduduki posisi tertinggi melebihi ketaatan kepada Allah SWT. Semuanya merupakan sebahagian bukti dari sikap lemah dan putus asa.

Masyarakat bertumbuh menjadi pengecut, harus n’rimo apa adanya, tanpa keinginan untuk membantah, dikerangkeng pada perangai Asal Bapak Senang. Sebetulnya, ABS perlu, bila artinya adalah “Asal Bangsa ini Sejahtera”.

Menjauhi kedelapan perangai ini menjadi suatu kewajiban asasi dalam hidup manusia sebagai “hamba Allah”.
Dapat dilakukan dengan aktifitas amaliah yang terpadu terarah (sustained) secara pasti dengan penerapan disiplin beragama dalam kerangka “iman dan taqwa”. Upaya lainnya juga dengan cara melazimkan do’a (munajat) kepada Allah SWT pada setiap pagi dan petang.

Di antara do’a munajat yang di ajarkan Rasulullah SAW tersebut untuk kita amalkan adalah, ”Allahumma, wahai ALLAH, sungguh aku berlindung kepada MU dari pada rasa sedih atau kecewa (al-hammiy) dan gelisah (al-hazniy). Dan akupun berlindung kepada MU, wahai Allah, dari watak yang penuh dengan kelemahan (al-‘ajziy) serta sifat kemalasan (al-kasali). Dan, aku pun juga memohon kepada Engkau, wahai Allah, perlindungan dari sikap pengecut (al-jubniy) dan bakhil (al-bukhliy). Aku pun berselindung kepada MU, wahai Allah dari cengkeraman hutang (ghalabatid-dayni) dan penindasan orang lain (qahriy ar-rijaal)”. (Do’a ma’tsur dari HR.Bukhari Muslim).

Di tengah bangsa kita mengalami masa ujian sekarang ini (chaos politik, ekonomi, sosial dan budaya), dan dirasakan adanya upaya pemaksaan dari pihak lain, diantaranya upaya menguasai/membeli Indonesia dengan label penyelematan ekonomi nasional, termasuk di dalamnya rencana penjualan BUMN, Gempa bumi dan berbagai bencana alam, kenaikan harga BBM dan semakin parahnya kehidupan rakyat miskin, maka sebaiknya do’a ini kembali dilazimkan membacanya setiap pagi dan sore.

Do’a munajat ini harus pula di iringi usaha sekuat tenaga dan secara bersama-sama menghilangkan sifat-sifat tercela ini dengan memulai dari diri sendiri, untuk mengerjakan apa yang bisa dan bermanfaat untuk orang banyak dengan modal (self-help) di keliling kita.

Modal besar itu, adalah kesepakatan, kerjasama, kesetia kawanan, seia-sekata (ukhuwwah), sumber daya (alam dan manusia) dalam suatu ikatan kebangsaan sebagai Rahmat Allah, serta selalu memohon pertolongan dari Allah SWT. Sebab, yang ada itu sebenarnya sudah teramat cukup untuk memulai. Semoga Allah selalu meredhai.***


JANGAN MENJADI ORANG ANIAYA

Di kala Nabi Ibrahim AS di uji oleh Allah (Subhanahu wata'ala), tentang ketabahan nya, kerelaan berkorban, keteguhan pendirian, sikapnya dalam memuliakan tetamu, berbuat baik sesama kerabat, dan kesiapannya dalam melaksanakan perintah Allah dan melepaskan ketergantungan kepada perintah materi (kebendaan), ternyata ia lulus dari ujian yang berat itu.

Ujian jiwa ini, secara beruntu dia alami, dan sungguh pun berat, dia berhasil melaluinya.

Ketabahannya terbukti, dikala ia dihadapkan kepada pilihan dibakar di dalam sebuah unggun api, Oleh Namrudz (Maharaja Nebucadnear) yang menguasai Mesopotamia. Atau kedudukan yang layak di sisi sang penguasa, manakala ia berkenan menggantikan perannya melaksanakan Dakwah Ilallah kepada Dakwah Ilalmaal (perjuangan mendapatkan harta).

Terbukti, Ibrahim A.S. lebih memilih menegakkan kebenaran dengan serba tipuan. Dia menang, dan imbalannya api unggun yang bergejolak membakar setiap kayu kering yang bersilang, tak mempan menyentuh sehelai rambut Ibrahim A.S sesuai dengan firman Allah, "wahai api, din¬ginlah dan selamatkan tubuh Ibrahim dari gejolakmu yang membakar".

Kerelaannya berkorban, tak tertandingi hingga kini. Anak kesayangannya satu satunya (Ismail, Alahisalaam), rela di korbankan, untuk disembelih untuk memenuhi tuntu¬tutan atau melaksanakan perintah Allah Yang Maha Rahman. Akhirnya pengorbanan diterima, anaknya tidak jadi menemui korban penyembelihan. Tetapi diganti dengan ternak sembi¬lahan yang besar, sebagai jawaban kerelaan yang tulus mengikuti perintah Allah.

Peristiwa ini dinukilkan oleh Allah di dalam firman Nya, "akhir, kerelaan Ibrahim menyahuti panggilan kami, berkorban karena mengharapkan kerelaan Kami, diganti dengan seekor ternak sembelihan yang sempuna besarnya".

Keteguhan pendiriannya, tidak pula diragukan. Ayahnya (Azar), yang selalu berpegang pada tradisi lama (menyembah berhala), diajaknya supaya meninggalkan tradisi itu. Kebiasaan memohon kepada "yang bukan Tuhan" itu, merupakan watak yang tidak pantas dimiliki oleh manusia yang bera¬kal. Padahal, manusia itu sendiri ada, dan ditengah alam ini, justru karena "rahmat" dan "rahim" dari Allah (sang Khalik).

Penghambaan kepada materi, menyebabkan lahirnya sesuatu bencana.
Materi adalah sesuatu rahmat dari Allah.
Karena itu, seharusnya materi itu dipergunakan untuk sebesar besar kemakmuran bagi manusia sekelilingnya.

Benda hanya alat.
Bukan tujuan, apalagi sesuatu sembahan yang berakibat rela diperbudak oleh materi. Mempertahankan materi (benda) tidak sesuai dengan harkat kemanusiaan.
Kesadaran seperti ini (yang amat sesuai dengan fithrah manusia), selalu disampaikan oleh Ibrahim kepada ayahnya (Azar).
Namun selalu ditolak.
Akhirnya, Ibrahim memilih berpisah dari keyakinan "tradisional bapaknya yang salah pilih itu.
Namun itu tetap berkata, sebagaimana diulangkan cerita oleh Allah (Subhanahu Wa Ta'ala) dalam Firman Nya, "Ibrahim berkata kepada ayahnya, Selamt tinggal (wahai ayah, dalam keyakinan tradisional ayah yang tak bisa dirobah lagi, nanti akan selalu memohonkan keampunan (untuk ayah) kepada Tuhan ku karena sesungguhnya Tuhan ku masih sayang kepada ku". (Al Qur'an, S. 18, ayat 47).

Sikapnya dalam memuliakan tetamu, juga menjadikan pujian.
Dia tidak pernah menolak tamu yang diharapkan bantuannya.
Dia selalu tanggap dengan kesulitan orang lain.
Bahkan dia lebih senang berbuat untuk kesenangan orang lain, dalam batas batas hubungan yang harmonis dan saling menghormati.

Berbuat baik sesama kerabat, merupakan perangai yang teramat mulia. Walaupun dia sudah dipuji dengan segala kehormatan, dan diberi gelar darjah "Khalilul lah, serta mendapatkan kehormatan, dan bagai "pimpinan" bagi ummat manusia, dia masih memohonkan kepada Allah, kiranya peng¬hargaan sedemikian tidak hanya diperuntukkan bagi dirinya sendiri.



Ibrahim ('alaihi salam), masih mempersoalkan "bagai¬mana halnya dengan (kaum kerabat) anak keturunanku.
Memperhatikan kaum kerabat, lebih tinggi nilainya, daripada hanya sekedar memperjuangkan kemenangan sendiri, atau hanya bertolak kepada kepentingan pribadi. Jika manusia secara umum telah terperosok kepada hanya untuk kepentin¬gan sendiri sendiri, tanpa mengindahkan kepentingan orang banyak, maka tentulah bencana akan datang tindih bertindih.

Orang yang hanya suka mempertahankan kepentingan individu, tanpa mempertimbangkan orang banyak, tepat diberikan cap sebagai orang aniaya (dhalim) menurut istilah dari Allah (Yang Maha Rahman).

Dia juga sosok ummat yang pandai berterima kasih, serta memelihara ni'mat Allah. Merupakan seseorang yang terpilih tindakannya dan terpuji perangainya dan selalu mendapatkan bimbingan dan selalu pula berusaha memimpin kejalan yang benar dan lurus. Karena itu, dia mendapatkan kehidupan dunianya aman tentram.

Akhirnya, di akhirat, (pada kehidupan yang menjadi tujuan setiap makhluk yang hidup di dunia sekarang ini), dia akan kami tempatkan bersama orang orang shalih yang terpilih.

Kepada Nabi Muhammad SAW diwahyukan supaya mengikuti jejak langkah perangai mulai yang ditinggalkan oleh Nabi Ibrahim, yaitu patuh, jujur, pandai berterima kasih, berkasih sayang sesama anggota, keluarga dan masyarakat, pandai pandai memilih tindakan yang tidak sampai merugi¬kan orang lain, selalu berusaha memimipin ummat ke jalan yang benar, dan diatas segalanya "berpegang teguh kepada Hidayah Agama Allah".

Benteng agama yang dianugerahkan untuk setiap manusia di dalam menghadapi musibah adalah sabar, tegar dan tabah mengiringi ikhtiar yang lebih baik dalam kemasan bekerja dan berdo'a.

Kembali kepada Allah dengan mematuhi semua ajaran ajaran Nya, dan menjauhi setiap larangan Nya adalah hakekat sabar yang sebenarnya.
Semoga semua yang ditimpa musibah saat ini, (kematian pemimpin, kekeringan, tiada hujan, kabut dan asap, kecelakaan pesawat, kelaparan, kebakaran, banjir dan musnahnya ikan di karamba), dapat mengambil iktibar yang mendalam dari bentuk cobaan Allah ini, supaya kita bersegera kembali kepada Nya, dan ber istighfar memohon ampun atas segala kesalahan, baik yang di ketahui ataupun yang tidak, dan melazimkan saling memaafkan.

Kembalilah beribadah kepada Allah, hidupkan fikiran dan gerakkan tenaga, cari apa yang di redhai Allah, supaya Allah senantiasa meredhai usaha usaha kita. Sekali kali jangan berputus asa terhadap rahmat dan lindungan ALLAH.

Begitulah hendaknya, Amin.

Tidak ada komentar: