Kamis, 22 Mei 2008

Peduli

“PEDULI”

oleh : H.MAS'OED ABIDIN


Sejak awal ada anugerah “fithrah” yang bersih (suci dari noda dan dosa) mewujudkan "manusia bermartabat”.
Fithrah manusia akan tetap terjaga manakala mampu melakukan "pengendalian diri", berkemampuan "mengalahkan hawa nafsu" melalui ibadah berat jasmani , dan rohaniyah dalam menahan amarah, memupuk kesabaran, serta mengendalikan keinginan keinginan.



Semua dilaksanakan karena mengharap redha Allah, terjauh dari pujian makhluk kecuali hanya dari Allah sema¬ta.


Setiap insan yang memiliki fithrah adalah pribadi yang kuat, yaitu "pribadi muttaqien".
Yang tegak dan jujur, tabah dan berdisiplin.
Yang tahu "harga diri" dan tahu "berterima kasih".

Memiliki "pribadi yang berwatak".
Yang memiliki hati nurani yang hidup.
Yang "peduli" dengan keadaan "kaum dhu'afa" (kaum lemah) yang jumlahnya lebih besar sebagaimana layaknya alas pada sebuah kerucut.



Memiliki fithrah berarti punya rasa bahagia dalam kalbu berupa "kebahagiaan dalam memberi".


Suka memberi, menyiratkan rasa bahagia pada pemberi dan penerima.
"Memberi dan menerima", sesuai dengan martabat manusia yang harus dihormati keberadaannya ditiap tiap anggota masyarakat.
"Memberi" bukan monopoli kalangan kaya semata.
"Menerima" tidaklah kwalitas baku milik kalangan "bernasib malang".



"Si-pemberi", memikul kewajiban karena ditangannya ada hak orang lain, yang wajib dia tunaikan dan mesti di keluarkan.
"Si-penerima", memiliki kewajiban dengan meneri¬makan haknya dari orang lain. Sebenarnya dia telah menyelamatkan sipemberi dari siksaan, bila sempat menahan hak orang lain.

Sipenerima memiliki kewajiban untuk menerimakan haknya, dan membebaskan sipemberi dari hukuman tersebab lupa mensyukuri nikmat Allah yang ada di tangannya.
Kedua-duanya sama sama "bermartabat" manusia.
Tidak ada tempat bagi "perasaan rendah" yang melumpuhkan "kalangan tak punya".
Tak ada peluang tumbuhnya "perasaan tinggi” atau sombong, yang sering melumpuhkan "kalangan berada".


Kedua kelompok, atas-bawah dan kaya-miskin ini bisa berperan serta mengisi kehidupan duniawi yang indah dan serasi, dengan perwujudan saling mempertinggi makna kehidupan duniawi yang saling menghargai menurut kemampuan masing-masing pula.
Atas dasar hak dan kewajiban yang setara itulah, kita persiapkan amalan besar tanpa riya.

Pekerjaan riya akan menghilangkan "kepedulian sosial", karena yang berpunya bisa gelak ketawa, sementara yang malang hanya berurai mata.


Dalam mengatasi kesenjangan sosial yang terjadi, Rasulullah SAW mewajibkan setiap Muslim "membayarkan zakat, mengeluarkan infaq, shadaqah” mengulurkan tangan dari atas ke bawah, tidak sebaliknya, menyuruh yang dibawah menampung belas kasihan semata.



Aplikasinya adalah, fungsikan lembaga lembaga sosial yang ada, giatkan kepedulian pendistribusian kekayaan secara teratur dengan mengutamakan nilai manfaat serta pendayagunaan Lembaga Baitul Maal, atau Amil Zakat dan Masjid Masjid. Data secara lengkap "kaum dhu'afa" (kalangan lemah) dilingkungan sendiri, termasuk juga Anak Yatim.

Bagikan kepada yang "berhak" dengan amanah secara jujur dan benar.
Bila perlu, ketok pintu "kalangan tak berpunya" itu, antarkan langsung kerumahnya. Dan bersedia pula "mengetok hati" kalangan berpunya (orang berada dan kaya), bahwa sebenarnya ditangan mereka ada hak orang lain, yang wajib dia keluarkan.
Sehingga kesenjangan sosial teratasi.


Wa ila'ilahi turja'ul umuur.

Tidak ada komentar: