Selasa, 15 Februari 2011

SIAPA YANG BISA MENJAWAB .. SEBENARNYA APA YANG TERJADI …????



Ketegasan pemerintah didalam menjaga keamanan dan kenyamanan warga ternyata amat lemah sekali ..
Apakah ini karena pengaruh liberalisme atau ham yang tidak terterjemahkan kepada aplikasinya...
Seperti contoh Yayasan Pondok Pesantren Islam (YAPI) Pasuruan di serang seratusan org tak di kenal.. menimbulkan korban luka serius enam orang,
Kita tidak tahu apa yang menjadi latar belakang terjadinya ..

Sebuah pertanyaan tetap menggelantung,
tentang apakah dinegeri ini sekarang tawuran sudah menjadi kebiasaan rakyat ..
yang terpupuk terus dengan label demokratisasi itu ..

Bila tindakan anarkis seperti ini menjadi terus terusan terjadi ... maka akibat yang akan dirasakan nantinya adalah kenyamanan dan keamanan akan sirna ...
Semestinya pemerintah tidak boleh terlambat mengantisipasi ..
Sosislisasi setiap saat mesti dijalankan disemua level dan tingkatan.

Pondok sebagaimana lazimnya pada setiap masa adalah tempat menuntut ilmu yang baik ..
Berakhlak mulia .. dan tentu tidak ada ajaran yang diluar itu.
Makanya lagi lagi Kemenag menghadapi tantangan berat ...
mengatur kembali eksistensi pondok pesantren ...
dan menetapkan tatakrama pondok di negeri yang permai ini ...

Penyerangan yang brutal seakan sebuah tawuran itu mesti dicegah sebelum terjadi,
dan tidak boleh berulang lagi dimana saja ..
Apa yang pernah terjadi dalam 'Peristiwa Tanjung Priok' masa lalu,
dengan penggusuran penggusuran dan penindasan yang terjadi itu semata hanya karena ketidak sabaran dan tidak adanya kepastian ..

Oleh karena itu, sosialisasi kerukunan umat, sosialisasi cinta negara dan cinta bangsa dalam ikatan Bhinneka Tunggal Ika tidak boleh diabaikan ...

Selain itu, para pemuka masyarakat, seluruh stake holder di negeri ini tentu tidak boleh berpangku tangan ..
Sila sila dalam Pancasila jangan sampai diabaikan .. dan sebenarnya sila sila itu merupakan tatakrama hidup bernegara ..

Semua pemimpin utama dinegeri ini mesti belajar kepada sejarah bangsa dan budaya bangsa, tidak malah mengabaikannya, atau lebih menyenangi budaya orang lain (global style) .. sehingga yang benar menjadi salah, dan yang haq dianggap bathil ..
Moga kita lebih arif menyikapi berbagai kemelut sosial yang terjadi.

Kesimpulannya,
mengabaikan nilai nilai luhur bangsa dan nilai nilai utama ajaran agama akan berakibat kerusakan ditengah masyarakat yang akan menimbulkan cost social yang tinggi dan menjadi beban sepanjang zaman ....

Moga Allah memberi hidayah Nya kepada kita semua,
serta menghindarkan keretakan ditengah pergaulan bangsa tercinta ini.

Wassalam

Minggu, 13 Februari 2011

“Membentengi Akidah Umat” Tasyakur Nikmat

Perang adalah sebuah akibat dari negara yang meluapkan emosi dan harga diri. Namun perang juga mengukir sederatan kenangan dan kepiluan. Ranah Minang menjadi lengang. Para ulama, cerdik pandai, para pengusaha, bahkan pemuda pergi jauh merantau membawa perasaan galau. Nagari-nagari menjadi sepi. Sejumlah gedung madrasah, sekolah dan perguruan tinggi, ditinggalkan tanpa penghuni. Mereka yang masih bertahan memikul beban mental dalam berbagai bentuk tekanan. Anak nagari seakan kehilangan keberanian. Tak ada yang sanggup berbicara meski rumah-rumah mereka diambilalih dan diubah jadi asrama dan madrasah serta sekolah dikuasai tentara. Kenyataan itu membuat risau sejumlah tokoh Minang di rantau. Tak ada pilihan. Harga diri mesti dipulihkan. Nagari yang lengang mesti dibangun. Sekolah dan madrasah harus diberi gairah. Semangat mesti terangkat. Suara itulah yang berkumandang pertama kali dalam sebuah pertemuan para pemuka masyarakat Sumatera Barat yang sedang berkumpul di Kota Padang Sidempuan, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, sekitar bulan Nopember 1961.


Mereka kemudian merumuskan langkah untuk membangun kembali kampung halaman, Sumatera Barat, yang terluka akibat perang saudara menentang Soekarno, tiga setengah tahun lamanya. Langkah-langkah itu antara lain adalah:
a. penyaluran tenaga-tenaga terpelanting, baik rakyat dalam pengungsian yang kehilangan sumber nafkah, maupun mahasiswa dan pelajar yang terputus pelajarannya.
b. membangun kembali perumahan rakyat yang hangus terbakar
c. membuka sumber ekonomi rakyat desa yang tertutup jalan
d. mengobati luka hati rakyat yang merasa kehilangan tempat mengadu
e. membangun kembali sarana dan prasarana pendidikan agama yang telah hancur.

Menindaklanjuti gagasan itu, atas prakarsa Mohamad Natsir sejumlah tokoh Sumatera Barat bertemu di Medan, pada November 1961 itu juga, yang antara lain dihadiri oleh Brigjen A. Thalib, Dr. Darwis, Mawardi Noor dan lainnya. Pertemuan tersebut telah membentuk satu pandangan yang sama, “untuk membangun kembali kampung halaman (Sumatera Barat)”. Waktu itu, disepakati jalan terpendek haruslah dengan menggerakkan anak kemenakan putera-putera Minang yang ada di daerah, dan yang di perantauan. Langkah pertama, atas bantuan keluarga Bulan Bintang dan para perantauan di Pekanbaru, Medan, Padang Sidempuan dan Jakarta, menghimpun bingkisan-bingkisan yang disebut mawaddah fil qurba. Antara lain berupa pakaian dan uang. Meski jumlahnya terbatas, bingkisan itu langsung diserahkan kepada keluarga korban perjuangan di beberapa tempat yang dapat dicapai di Sumatera Barat, dengan dibekali surat pengantar oleh DR. Mohamad Natsir. Surat itu kemudian membuka simpul satu nagari dan nagari lain, satu kelompok dan kelompk berikutnya sehingga perjalan itu membuahkan ta'ziyah fil qurba.

Surat-surat Mohamad Natsir itu menjadi rangkaian wasiat atau taushyiyah yang memberikan garisan rinci kepada para ulama, pemuka adat dan kalangan cerdik pandai dalam menghimpun tenaga, dana dan pikiran untuk membangun kembali nagari. Berkat taushiyah itu, ternyata memang mampu menjalin kembali tali yang hampir putus sehingga dapat menelurkan amaliyah nyata. Perhatian utama diarahkan kepada rehabilitasi perasaan umat. Hasilnya menggembirakan. Antara si pemberi dan si penerima tercipta hubungan kekeluargaan dan keakraban. Perasaan itu terus meluas seiring berkembangnya semangat dan dukungan moril dan materil untuk membangun kampung halaman di kalangan perantau. Tapi tujuan utama dan lebih jauh adalah menumbuhkan rasa “percaya diri” (self confidence) melalui strategi yang menyatu yaitu “strategi harga diri”. Sasaran itu selain berat, juga penuh kendala. Sebab, secara psikologis, rakyat masih dihantui rasa takut. Rakyat bersikap sangat hati-hati. Dengan alasan keamanan dan keselamatan diri, mereka risih dan kaku meski tak bisu.

Seringkali dirasakan, bahwa di antara hal-hal itu ada yang demikian barunya, sehingga sukar. Malah terasa mustahil dicapai. Namun dengan semangat juang terus bangkit didorong semboyan : Yang m u d a h sudah dikerjakan orang. Yang s u k a r kita kerjakan sekarang. Yang tak mungkin kita kerjakan besok. Kegiatan yang mudah itu antara lain, menggerakkan usaha kerajinan tangan (keterampilan) dan usaha rumah tangga (home industry). Misalnya, industri tikar pandan atau mendong dan pemeliharaan ulat sutra. Usaha itu dikembangkan melalui beberapa pelatihan dan pengenalan. Atau mengajak beberapa kelompok masyarakat belajar ke daerah penghasil industri rumah tangga, seperti ke Sukabumi dan Tasikmalaya. Lalu, sekitar tahun 1962 ada program lebih mendasar, yaitu : penyaluran tenaga mahasiswa dan pelajar, pembentukan perpustakaan mahasiswa di Padang, serta melatih kader di bidang industri sutra alam dan anyaman tikar mendong.


Setelah pelatihan dan pendidikan itu menunjukkan hasil nyata, di awal tahun 1963, beberapa tenaga pulang ke kampung masing-masing, menyebarluaskan keterampilan yang telah mereka miliki kepada orang-orang di kampung masing-masing. Ternyata, usaha itu, meski berat, namun dengan kebersamaan usaha besar berkembang sejalan dengan kemampuan dan keadaan di nagari masing-masing membuahkan hasil yang menggembirakan. Perhatian utama diarahkan kepada rehabilitasi perasaan umat. Disadari benar, ada puluhan ribu rumah yang terbakar hangus akibat pergolakan. Maka amal-amal nyata yang mulai digerakkan itu, mesti dilanjutkan ke arah mencarikan lapangan pekerjaan bagi tenaga-tenaga terampil tapi terpelanting tersebut. Tentu saja menurut bakat dan kemampuan mereka masing-masing. Para pemimpin umat senantiasa berusaha sepenuh hati menurut kemampuan yang ada, disesuaikan dengan kondisi dan situasi yang sedang dialami waktu itu.

Dalam gerakan membangun kampung halaman itulah, Mohamad Natsir sebagai tokoh bangsa beberapa kali pulang ke Ranang Minang, setelah beliau, sejak tahun 1961, berada di dalam karantina politik Orde Lama. Pada tanggal 14 JUNI 1968, udara pagi cerah di Lapangan Udara Tabing Padang, yang menjadi salah satu pintu gerbang ranah Minang, kembali hidup. Setelah hampir satu dasawarsa berada dalam cengkeraman "Orde Lama", terkungkung. Ranah ini sudah lama menginginkan kebebasan, dari rasa tertekan dan hilangnya harga diri. Hari itu, baru dua tahun setelah "Orde Baru" dicanangkan di bawah kepemimpinan Soeharto. Pada awalnya Orde Baru lahir atas dukungan massa rakyat dan mahasiswa dengan TRITURA (TRI = TIGA TUNTUTAN RAKYAT). Sumatera Barat sudah lama mendambakan suasana baru, dengan nafas baru. Agar bangsa ini terbebas dari segala macam tekanan yang selama ini terasa berat menghimpit di bawah kendali komunis PKI. Jam menunjukkan jarum waktu 08.15 WIB pagi, tanggfal 14 Juni 1968. Di kala pesawat Electra GIA mencecah landasan dengan mulus, membawa di dalamnya Bapak DR. Mohamad Natsir dan Umi yang berkunjung ke Sumatera Barat atas undangan Gubernur Sumbar Prof. Harun Zain dan Wali kota Padang Kolonel Maritim Akhirul Yahya.

Bapak Mohamad Natsir, ditunggu sebagai “pemimpin pulang” dengan kepala tegak untuk melanjutkan perjuangan dalam merangsang semangat umat yang tadinya telah hampir padam untuk membangun kampung halaman. Ranah Bundo ingin membangun kembali kampung halamannya. Beliau disambut dengan panggilan "orang tua kita". Hampir seluruh daerah Tingkat II dalam daerah Sumatera Barat sempat didatangi Bapak Mohamad Natsir. Mendorong umat kembali memulai membangun negeri yang bermuara dari lubuk hati. Perang bukan hanya mengangkat harga diri, tapi kadang juga membuat orang kehilangan nyali. Karena, perang membuat darah tertumpah, kematian yang mengenaskan dan kesengsaraan yang tak terlupakan.


Pemimpin Pulang
Empat cara pulang bagi Pemimpin dari Perjuangan. Dia pulang dengan kepala tegak, membawa hasil perjuangan. Dia pulang dengan kepala tegak, tapi tangan dibelenggu musuh untuk calon penghuni terungku, atau lebih dari itu, riwayatnya akan menjadi pupuk penyubur tanah Perjuangan bagi para Mujahidin seterusnya. Dia pulang. Tapi yang pulang hanya namanya. Jasadnya sudah tinggal di Medan Jihad. Sebenarnya, di samping namanya, juga turut pulang ruh-nya yang hidup dan menghidupkan ruh umat sampai tahun berganti musim, serta mengilhami para pemimpin yang akan tinggal di belakangnya. Dia pulang dengan tangan ke atas, kepalanya terkulai, hatinya menyerah kecut kepada musuh yang memusuhi Allah dan Rasul. Yang pulang itu jasadnya, yang satu kali juga akan hancur. Nyawanya mematikan ruh umat buat zaman yang panjang Entah pabila umat itu akan bangkit kembali, mungkin akan diatur oleh Ilahi dengan umat yang lain, yang lebih baik, nanti Ia “Pemimpin” dengan tanda kutip . Adakalanya ada nakhoda berpirau melawan arus. Tapi berpantang ia bertukar haluan, berbalik arah. Ia belum pulang. MOHAMAD NATSIR MEDAN DJIHAD, 24 AGUSTUS 1961 M/ MAULID 1381 H.

Di depan berbagai pertemuan beliau menyampaikan pikiran dan gagasan. Kalau tak pulang, beliau melayangkan surat-suratnya kepada karib seperjuangan di kampung. Banyak di antaranya yang digoreskan oleh pena Beliau, walaupun harus dikirimkan dari dalam karantina politik dari rezim "Orde Lama", baik dari Wisma Keagungan, di Jakarta, atau dari Batu, Malang. Dari perjalanan itu pula sejumlah pemikiran, pandangan dan nasihat diperoleh untuk kemudian jadi pegangan yang diterima sebagai wasiat pemimpin kepada umat dan bangsanya.

Hasil yang diraih pada umumnya adalah karena "faktor hubungan" keluarga dan famili antara yang "menerima" dan menampung. Terjalinnya hubungan rasa antara yang "memberi" kan tenaganya dengan yang menampung tenaga itu.

Didorong oleh rasa tanggung jawab terhadap kampung halaman yang baru saja keluar dari kancah pergolakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) di daerah-daerah. Maka seluruh putera-putera yang benar-benar cinta kepada kampung halaman negerinya, pastilah ingin turun tangan untuk membangun kembali kampung halaman negerinya itu. Merantau sama sekali bukan melarikan diri. Tidak pula menyingkir karena dendam atau benci. Merantau, hanyalah semata pengamalan dari kaedah pepatah di Ranah Bundo “Karatau madang dihulu, babuah babungo balun. Marantau buyuang dahulu, (di saat) di rumah (kampung halaman) belum paguno.” Walaupun segala akibat harus dilalui, tekad hanya satu. Berusaha dengan sepenuh hati menurut kemampuan yang ada. Sesuai dengan kondisi dan situasi yang sedang dialami pada tiap-tiap waktu itu. Seberat-berat apapun beban di pundak, niscaya akan dirasakan ringan, selama dipakaikan kaedah “berat sepikul ringan sejinjing”.

Usaha-usaha ke arah pembangunan negari berlandasan keumatan niscaya akan berhasil sepenuhnya, bila ada kesediaan untuk mengawali dengan menumbuhkan perhatian dan menggerakkan perantau-perantau guna menyalurkan bantuannya. Dalam pada itu, sebagian di antara Keluarga Qurba sudah ada juga yang bertekad pula untuk tinggal di daerah Sumatera Barat. Di antaranya banyak yang telah berhasil. Ada juga yang gagal karena kekurangan dana dan kurangnya dukungan serta besarnya resiko hidup dalam berbagai akibat yang harus dilalui. Pada umumnya usaha ini menemui berbagai kesulitan. Karena psikologis masih diliputi oleh rasa takut. Kebanyakan, karena alasan untuk menjaga keamanan yang bersangkutan. Namun demikian, dalam jumlah yang sangat sedikit, dapat juga berhasil. Mendorong kembali kehidupan rakyat di kampung halaman, bukanlah tugas yang ringan. Menghubungi mereka serta memanggil hati mereka, dalam berusaha membangun kampung dan negeri dari tanah perantauan, tidak pula urusan kecil yang bisa dikerjakan sambil lalu . Kerja ini termasuk kerja berat.

Agendanya dengan memulainya dari menumbuhkan kepercayaan. Dalam melanjutkan usaha itu, Bapak Mohamad Natsir terus menerus membekali dengan pedoman dan petunjuk-petunjuk. Ide membangun dari rantau yang telah diketengahkan Bapak Mohamad Natsir dan para pemimpin umat disambut baik. Tidak hanya para dermawan yang menyanggupi untuk membantu melapangkan jalan dalam usaha-usaha yang tengah dilakukan, tetapi juga dari berbagai pihak dan kalangan. Karena idea yang lebih mendasar sebenarnya adalah keyakinan bahwa untuk “mencapai kemakmuran rakyat banyak sangat ditentukan oleh kemampuan merajinkan tangan dan berusaha untuk rumah tangga”. Merencana sambil tasyakur nikmat, adalah suatu kondisi yang sangat bermanfaat.

Ketika dibebaskan kembali dari karantina politik Orde Lama Ibu Hajjah Rahmah El Yunusiyah di Padang Panjang telah mengadakan pula acara tasyakur nikmat. Acara tasyakur ini, selain telah mempertemukan teman, guru dan bekas murid ini, membuahkan kesepakatan bahwa ilmu pengetahuan praktis yang telah didapat harus diajarkan pula kepada umat di keliling kita. Seperti latihan yang telah dilaksanakan di beberapa daerah di Jawa Barat (Sukabumi, Tasikmalaya, Bogor), membuahkan pengetahuan praktis pertanian dan perindusterian, sungguh sangat bisa dikembangkan untuk memajukan perekonomian umat. Terutama di Sumatera Barat. Harusnya sudah dimulai dari lingkungan sendiri seperti sutera alam dan tikar mendong dan mestinya diperkembangkan pula di Sumatera Barat.

Gerakannya perlu dilaksanakan melalui kursus dan latihan. Latihan pertama dilakukan pada tanggal 15 April 1963 sampai dengan 15 Mei 1963 di Balingka. Selama kursus-kursus keterampilan ini mendapat penilaian yang positif dari Pemerintah Daerah, terutama Pemerintahan Nagari di Balingka. Sesungguhnya bergerak pada saat itu sangatlah riskan. Sering sekali terjadi apabila suatu kegiatan amal sekalipun, jika dikelola atau digerakkan oleh bekas-bekas partai Masyumi dan bekas PRRI, selalu dicurigai. Ketika itu, di tahun 1963 itu, masih berada di bawah tekanan rezim Orde Lama. Apalagi tatkala orang-orang komunis sangat bebas berkeliaran, memfitnah, menabur hasutan, dan kecurigaan. Namun, sungguhpun hanya secercah, bayangan baik di masa depan mulai menyeruak penuh harapan. Harapan yang menimbulkan optimisme. Walau kenyataannya umat tengah berada di antara tekanan diktator dan sangat banyak dikendalikan oleh PKI. Perasaan di bawah tekanan dan kecurigaan inilah yang selalu merayap dari sudut ke sudut hati setiap peserta. Kondisi ini di satu sisi menyisakan enggan dan rasa dendam penyesalan. Namun di sisi lainnya melahirkan optimisme kuat bahwa umat harus dapat membuktikan bahwa dalam perjalanan sejarah kebenaran hanya akan bangkit melalui usaha yang sungguh-sungguh jua adanya.

Kalangan pemerintah Orde Lama pada umumnya masih bersikap mencurigai. Di sebahagian daerah banyak yang menolak atau bahkan mengintimidasi semua kegiatan dari bekas Masyumi dan PRRI, hingga ke pelosok kampung dengan berbagai cara. Karena itu, pelatihan keterampilan ilmu praktis yang pertama kali ini menjadi salah satu tonggak sejarah untuk menghidupkan human elemen di daerah-daerah Sumatera Barat, untuk jangka panjang sesudahnya. Pertama sekali di- ikuti oleh 20 orang ibu-ibu Muslimah. Usaha-usaha mempelajari pengetahuan praktis tidaklah hanya dicukupkan dengan apa yang telah dilakukan oleh rombongan pria. Akan tetapi dirasa penting pula ilmu sederhana itu dipelajari oleh wanita-wanita dalam usaha secara nyata untuk mempertinggi kesejahteraan hidup di rumah tangga, sebagai bundo kandung. Pemeliharaan hubungan kerjasama sesama keluarga tetap dilakukan. Seperti telah dirintis oleh Djanamar Adjam dengan H.M. Miftah sekeluarga di Pasar Minggu pada November 1963.


Kemudian, berbuah dengan memperkenalkan cara usaha pembibitan dan penanaman Tanaman Holtikultura. Di samping itu, dikembangkan pengetahuan penganyaman topi dari bambu di desa Cangkok Tangerang. Dipelajari juga cara penanaman padi dan jagung ke Lembaga Padi dan Jagung di Bogor. Janamar Ajam, dari kedubes RI di Saudi juga mengirimkan bibit padi Logos untuk dicoba kembangkan di daerah kering. Pengenalan bibit harapan, penggunaan pupuk yang tepat, percobaan penanaman pertama, sampai kepada praktik pembibitan sayur mayur, sangat banyak bermanfaat dalam meningkatkan hasil pendapatan keluarga. Dimulai dari penanaman bibit "bayam hikmat" (bapinas astunensis) yang dikirimkan dari wisma peristirahatan Ashhabul qafash.

Di dalam wisma keagungan itulah senyatanya Bapak Mohamad Natsir ditahan, yaitu Rumah Tahanan Militer di Jakarta. “Bijo” atau benih tampang bayam tersebut disemai dan ditanamkan pula di lingkungan keluarga. Maka tidaklah salah, mungkin berkat kemurahan Ilahi, "bibit yang halus" yang disemaikan dengan baik, dipelihara dengan tekun dan sabar akan tumbuh dengan baik dan subur. Disertai dengan pesan secarik kertas kecil dari balik dinding tahanan pada Desember 1963, "sesudah dipotong makin bercabang". Taushiyah ini, dirasakan nikmat oleh setiap keluarga yang menerima. Menjadi satu amanat yang harus dipelihara dalam kerangka "bai'atul qurba' itu. Dan, Buya Haji Bakri Suleman di Pekanbaru mengungkap-kan dengan penuh pengertian "kuunuu ..bayaaman..", menjadi buhul yang kian erat untuk mengangkat amal nyata yang lebih berat. Terutama di kalangan "bundo kandung" kaum ibu sangatlah penting dikembangkan terus melalui latihan-latihan praktis, dalam rangka memanfaatkan lahan di keliling rumah.

Pada bulan Juni 1968 itu, Pak Mohamad Natsir pulang ke Padang dengan undangan Gubernur Harus Zain dan Walikota Padang Akhirul Yahya, dalam rangka peringatan ulang tahun Yayasan Kesejahteraan.

Pak Natsir berpesan antara lain ; “Kalau hari itu diperingati 5 tahun usianya Yayasan Kesejahteraan, pada hakekatnya amalnya sudah lebih tua dari usianya sendiri. Yaitu beberapa tahun sebelum amal itu bernama Yayasan Kesejahteraan. Titik tolak dari usaha ini berasal dari pertemuan pemimpin kita di Padang Sidempuan.”

Di sana, beberapa tahun sebelumnya telah digariskan suatu langkah untuk membangun kembali Sumatera Barat yang baru saja keluar dari situasi pergolakan daerah. Bahkan baru saja sembuh dari luka-luka terkoyaknya perang saudara, karena pergolakan daerah PRRI (pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) dan Permesta (Perjuangan Semesta) semasa rezim Soekarno, selama 3½ tahun lamanya. Banyak luka yang harus ditambal, banyak sakit yang harus diobati. Banyak keruntuhan yang harus dibangun. Disini diminta peran pemimpin umat.

Kalaulah tidak lantaran Karunia Ilahi tadinya, tidaklah terbayangkan sama sekali. Bahwa, kita akan dapat mencapai apa yang tercapai sampai sekarang ini. Apabila kita ingat betapa besarnya kesulitan yang harus kita lalui, Alhamdulillahi Rabbil 'Alamien ... Inilah bukti yang nyata dari kebenaran Firman Ilahi itu: “Dan Ingatlah juga, tatkala Tuhanmu memaklumkan : “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni‟mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni‟mat-KU), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (QS.14, Ibrahim : 7).